Sabtu, 28 Juli 2012

Biografi: KH. Dimyati Pakunya Indonesia





KH. Muhammad Dimyathi
yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim merupakan
sosok Ulama Banten yang memiliki karismatik nan bersahaja. Beliau lahir
sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil
Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau
belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mullai dari Pesantren
Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon.
Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru
dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut
sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara
Indonesia. Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang
sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan
‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.



Abuya Dimyathi
dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah
agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya
tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku
sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya
adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah
istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa,
tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam
shalat. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengkategorikan
Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Beliau
secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah
ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa
dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana
yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadist nabi, al-Ulama’u waratsatul
anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana
pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan.
Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. ilmu adalah
suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna
menjalankan fungsi kekhalifahannya.Saking pentingnya ngaji dan belajar,
satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah:
“Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena
umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin
memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia
runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai.Urusan ngaji ini
juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya.
Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali
semua putra-putrinya hadir di dalam majlis.

Menelusuri kehidupan
ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan
spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol.
Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi
Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar
tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang
disegani.Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur
ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten
tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi
tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya
Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para
kiai.

Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga
menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenal sebagai
penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.Tidak salah kalau sampai
sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh
penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya
tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai
majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki
seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar
terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu
penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis
Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari
semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.

Abuya berguru pada
ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya
Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar
Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah
Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua
guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para
kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid
sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh
wafat.

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk
mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama
ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan
datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di
Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya
menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.
Di pondok
Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada
peningkatan santri mengaji.

Dalam setiap perjalanan menuntut
ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan
kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para
santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu
mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam
seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti
khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain
itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.Bagi Abuya hidup
adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa
Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya
luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah
menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam
11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi
hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib.
Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24
malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.Di sisi lain ada
sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem.

Ketika
bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru
semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai
Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada
satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio
pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu
pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa
apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari
dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati
penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi.
Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah.
Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya
mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara

Mbah
Dalhar Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh
pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara
pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan
dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda
prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya
dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama
enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.

Ada
beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah
Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan
hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab
Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat
pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul
Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib
Nasr.Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori.
Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah
didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita
menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar.
Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat
kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya
bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil
Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai
Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.”
Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini
tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada
sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang
lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab
karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan
sangat sulit dipahami oleh orang awam.” Mendengar jawaban tersebut Abuya
Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya
malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa
yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah,
kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan
kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.”

Kemudian
Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.Itulah
sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan
dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa
ahlikum naran. Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita
semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3
Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim,
khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya,
KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu,
Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu
juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten
ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan,
sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman
Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan
dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.

Semoga Beliau mendapatkan Tempat yang Mulia DisisiNYA.Amiin. Al Fatihah [sufiroad.blogspot.com]

Terkait

Description: Biografi: KH. Dimyati Pakunya Indonesia Rating: 4.5 Reviewer: Sinta Ayu ItemReviewed: Biografi: KH. Dimyati Pakunya Indonesia
Al
Mbah Qopet Updated at: 22.58