Jumat, 27 April 2012

Bila Para Burung Musyawarah...





Dikisahkan,
segala burung di dunia, yang dikenal atau tidak dikenal, datang
berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja
mereka? Di antara mereka ada yang berkata, “Rasanya tak mungkin negeri
dunia ini tidak memiliki raja. Maka rasanya mustahil bila kerajaan
burung-burung tanpa penguasa! Jadi, kita semua memiliki Raja, ya, Raja.”





Semua burung tertegun, seperti ada keraguan yang mengawang-awang.


“Keadaan
semacam ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Hidup kita ini akan
percuma bila sepanjang hayat kita, kita tidak pernah mengetahui, dan
mengenal siapa Raja kita sesungguhnya.”


Masing-masing dari mereka masih berfikir dan terdiam. Lalu kembali ada yang berteriak, “Lalu apa yang harus kita lakukan?”





“Tentu
saja kita harus berusaha bersama-sama mencari seorang raja untuk kita
semua; karena tidak ada negeri yang memiliki tatanan yang baik, tanpa
seorang raja.· Mereka pun mulai berkumpul dan bersidang untuk memecahkan
persoalan. Burung Hudhud dengan semangat dan penuh rasa percaya diri,
tampil ke depan dan menempatkan diri di tengah majelis burung-burung
itu. Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah
memiliki pancaran ruhaniah yang tinggi. Dan jambul di kepalanya tegak
berdiri mahkota yang melambangkan keagungan dan kebenaran, dan dia juga
memiliki pengetahuan luas tentang baik dan buruk.





Burung-burung
sekalian, kata Hudhud, kita mempunyai raja sejati, ia tinggal jauh di
balik gunung-gunung Qaf. Ribuan daratan dan lautan terbentang sepanjang
perjalanan menuju tempatnya. Namanya Simurgh. Aku kenal raja itu dengan
baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaskan dirimu dari
rasa malu, sombong, dan ingkar. Dia pasti akan melimpahkan cahaya bagi
mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri. Mereka yang demikian akan
bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasih-Nya.
Sesungguhnya Dia dekat dengan kita, tapi kita jauh dari-Nya.





Dikisahkan,
pada suatu malam sang Maharaja Simurgh terbang di kegelapan malam.
Tiba-tiba jatuhlah sehelai bulunya yang membuat geger seluruh penduduk
bumi. Begitu mempesonanya bulu Simurg hingga membuat tercengang dan
terheran-heran. Semua penduduk gegap gempita ingin menyaksikan keindahan
dan keelokannya. Dan dikatakan kepada mereka, “Andaikata sehelai bulu
tersebut tidak jatuh, niscaya tidak akan ada makhluk yang bernama burung
di muka bumi ini.”


Kemudian
burung Hudhud melanjutkan pembicaraannya, bahwa untuk menggapai istana
Simurg mereka harus bersatu, saling bekerja sama dan tidak boleh saling
mendahului. Setelah mendengar cerita yang disampaikan oleh burung
Hudhud, semua burung-burung bersemangat ingin sekali secepatnya pergi
menghadap sang Maharaja Simurg. Namun, burung Hudhud menambahkan, bahwa
perjalanan menuju istana Simurg tidak semudah yang dibayangkan,
melainkan harus melewati ribuan rintangan dan guncangan dahsyat.
Perjalanan juga sarat dengan penderitaan, kepedihan dan kesengsaraan.





“Apakah
kalian sudah siap ?” kata burung Hudhud, menguji keseriusan mereka.
Setelah mereka mendengarkan penjelasan bagaimana suka dukanya, pahit
getirnya perjalanan menuju istana Simurg, ternyata semangat sebagian
burung menjadi pudar dan turun.





Namun, di
antara burung-burung, ada seekor burung Kenari yang memberanikan diri
menyampaikan pendapatnya, “Aku adalah Imamul Asyiqin, imamnya
orang-orang yang asyik dan rindu. Aku sangat keberatan untuk ikut
berangkat, bagaimana nanti orang-orang rindu dengan kemerduan kicauanku
bila aku harus meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah
dari kembang-kembang mekarku ?” demikian alasan burung Kenari.





Selanjutnya,
burung Merak berkata, “Dulu aku hidup di syurga bersama Adam, lantas
aku diusir dari syurga, rasanya aku ingin kembali ke tempat tinggalku
lagi. Karena itu, aku tidak mau ikut dalam rombongan.”


Kemudian
disusul oleh Itik, “Aku sudah biasa hidup dalam kesucian, dan aku juga
terbiasa berenang di tempat yang kering kerontang. Aku tidak mungkin
hidup tanpa air,” kilah Itik.


Begitu
juga burung Garuda, “Saya sudah biasa hidup senang di gunung, bagaimana
mungkin aku sanggup meninggalkan tempatku yang menyenangkan”, alasan
Garuda.





Kemudian
disusul burung Gelatik, “Aku hanya seekor burung kecil, dan lemah,
takkan mungkin sanggup ikut mengembara sejauh itu,” kata burung Gelatik.





Lantas
burung Elang ikut menyahut, “Semua orang sudah tahu kedudukanku yang
tinggi ini, maka tidak mungkin aku meninggalkan tempat dan kedudukan
yang mulia ini, ” kata burung Elang.


Burung
Hudhud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar semua keluhan
dan alasan burung-burung yang enggan berangkat. Namun demikian, burung
Hudhud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka.
“Kenapa kalian harus berberlindung di balik dalil-dalil nafsumu,
sehingga semangatmu yang sudah membara menjadi padam? Padahal kalian
tahu bahwa perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci,
kenapa harus takut dan bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?”
ucap Hudhud.





Kemudian
ada seekor burung menyela, “Dengan cara apa kita bisa sampai ke tempat
Maharaja Simurgh yang jauh dan sulit itu? “Dengan bekal himmah
(semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, dan tabah menghadapi segala
cobaan dan rintangan. Bagi orang yang rindu, seperti apapun cobaan akan
dihadapi, dan seberapa pun rintangan akan dilewati. Perlu diketahui
bahwa Maharaja Simurg sudah jelas dan dekat, laksana matahari dengan
cahayanya,” jawab Hudhud meyakinkan. Sabarlah, bertawakkallah, karena
bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu, kalian akan tetap
berada dalam jalan yang benar,·demikian lanjut Hudhud.





Setelah
itu, bangkitlah semangat burung-burung seolah-olah baru saja mendapatkan
kekuatan baru untuk terus melangkah menuju istana Simurg. Akhirnya,
burung-burung yang berjumlah ribuan sepakat untuk berangkat bersama-sama
tanpa satupun yang tertinggal.





Perjalanan
panjang telah dimulai, perbekalan telah disiapkan. Burung Hudhud yang
didaulat menjadi pemimpin mereka telah mengatur persiapan, dengan
membagi rombongan menjadi beberapa kelompok. Setelah perjalanan cukup
lama menembus lorong-lorong waktu, kegelisahan mulai datang menimpa
mereka. “Mengapa perjalanan sudah lama dan jauh, kok tidak
sampai-sampai?” guman mereka di dalam hati. Mulailah mereka dihinggapi
rasa malas karena menganggap perjalanan terlalu lama, mereka bosan
karena tidak lekas sampai. Perasaan mereka diliputi keraguan dan
kebimbangan. Kemudian sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak
melanjutkan perjalanan.





Namun
burung-burung lain yang masih memiliki stamina kuat dan himmah yang
tinggi tidak menghiraukan penderitaan yang mereka alami, dan melanjutkan
perjalanan yang maha panjang itu.


Tiba-tiba
rintangan datang kembali, terpaan angin yang sangat kencang menerpa
mereka sehingga membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan berguguran.
Kegagahan burung-burung perkasa pun mulai pudar. Kedudukan dan pangkat
yang tinggi sudah tidak terpikirkan. Berbagai macam penyakit mulai
menyerang mereka, kian lengkaplah penderitaan yang dirasakan oleh para
burung tersebut. Badan mereka kurus kering, penyakit datang silih
berganti membuat mereka makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang
dulu disandang dan dibanggakan, sekarang tanggal tanpa sisa, yang ada
hanyalah totalitas kepasrahan dalam ketidak berdayaan. Mereka hanyut
dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam gelombang fana’.





Pada
akhirnya Cuma sedikit dari mereka yang benar-benar sampai ke tempat yang
teramat mulia dimana Simurg membangun mahligainya. Dari ribuan burung
yang pergi, tinggal 30 ekor yang masih bertahan dan akhirnya sampai di
gerbang istana Simurgh. Namun kondisi mereka sangat memprihatinkan,
tampak gurat-gurat kelelahan di wajah mereka. Bahkan bulu-bulu yang
menempel di tubuh mereka rontok tak bersisa. Di sini terlihat, meski
mereka berasal dari latar belakang berbeda, namun pada proses puncak
pencapaian spiritual adalah sama, yaitu dalam kondisi telanjang bulat
dan lepas dari pakaian basyariyah.





Kemudian
di depan gerbang istana mereka beristirahat sejenak sambil mengatur
nafas. Tiba-tiba datang penjaga istana menghampiri mereka, “Apa tujuan
kalian susah payah datang ke istana Simurgh?” kata penjaga istana.
Serentak mereka menjawab, “Saya datang untuk menghadap Maharaja Simurg,
berilah kami kesempatan untuk bertemu dengannya.”


Tanpa
diduga, terdengar suara sayup-sayup menyapa mereka dari dalam istana,
“Salaamun qaulam min rabbir rahiim” sembari mempersilahkan mereka masuk
ke dalam. Lalu mereka masuk secara bersama-sama. Kemudian terbukalah
kelambu hijab satu demi satu yang berjumlah ribuan. Mata mereka
terbelalak memandang keindahan yang amat mempesona, keindahan yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, keindahan yang tidak bisa dilukiskan
dengan kata-kata.





Tatkala
seluruh hijab tersingkap, ternyata yang dijumpai adalah wujud dirinya.
Burung-burung pun saling bertanya dan terkagum-kagum, “Lho kok aku sudah
ada disini?” begitu guman mereka dalam hati. Seolah-olah mereka berada
di depan cermin sehingga yang ada adalah wujud dirinya. Maka datanglah
suara lembut menjawabnya, “Mahligai Simurgh ibarat cermin, maka siapapun
yang sampai pada mahligai ini, tidak akan melihat wujud selain wujud
diri sendiri. Perjumpaan ini di luar angan dan pikirmu, dan juga tidak
dapat dilukiskan dengan kata-kata, namun hanya dapat dirasakan dengan
rasa. Karena itu, engkau harus keluar dari dalam dirimu sehingga engkau
menjadi sosok pribadi Insan Kamil.”





Akhirnya,
mereka memahami hakikat dirinya, setelah melewati tahapan fana’ billah
hingga mencapai puncak baqa’ billah. Maka hilanglah sifat-sifat
kehambaan dan kekal dalam ketuhanan.[fariduddin athar]


Terkait

Description: Bila Para Burung Musyawarah... Rating: 4.5 Reviewer: Sinta Ayu ItemReviewed: Bila Para Burung Musyawarah...
Al
Mbah Qopet Updated at: 06.17